Mari Kita Pindah

Mungkin ini postingan terakhir saya di blog ini. Huft jadi sedih. Blog ini sudah menemani saya selama enam tahun, sejak saya baru memulai masa mahasiswa sampai sekarang saya sudah jadi dokter. Tapi bukan berarti saya sama sekali tidak akan menulis lagi. Saya hanya akan pindah blog. Ini blog baru saya
monsjourney.wordpress.com

Silahkan berkunjunggg..
Sayonara 😄

Latihan Kesabaran

Saat ini saya sedang duduk di salah satu bangku di perpustakaan. Doing nothing but relaxing. Yap, memang tempat yang aneh untuk bersantai. Tapi saya selalu menikmati masa-masa sendiri duduk di perpustakaan. Sepi. Hening. Waktu yang tepat untuk melakukan refleksi diri.

Tapi kali ini usaha keras untuk berkonsentrasi pada laptop dan tulisan ini, agak terganggu dengan suara mengobrol yang sangat berisik dari ujung perpustakaan. Suara ini sebenarnya tidak asing lagi bagi saya. Begitu mendengar suaranya yang halus namun sedikit cempreng dan nada bicaranya yang khas, langsung mengirimkan bayangan sosok seseorang dalam imajinasi saya. Sosok dengan tubuh gempal, berkulit putih dan berambut sedikit ikal. Sosok yang punya kebiasaan sedikit jelek karena suka mengekori orang-orang dan mengajak ngobrol tidak penting dan suara toa. Sebut saja inisialnya L.

Saya sempat mengira teman saya ini sedang melakukan monolog jika saja saya tidak melihat bahwa salah seorang teman yang lain, yang memasang tampang sangat menyesal karena memilih tempat duduk di sebelah L. L terlihat begitu bersemangat mengajak E berbicara, dan dari apa yang saya curi dengar, L berceloteh berisik mengenai topik yang meloncat-loncat dari satu ide ke ide lainnya. Saya hanya bisa mengulum senyum, kasihan sekali teman saya si E ini.

Saya bisa memperhatikan wajah E yang sangat tidak enak, karena saat ini mereka sedang menjadi pusat perhatian perpustakaan. Bagaimana tidak, suara L sangat mendominasi dan terdengar ke mana-mana. Praktis semua kepala akan menoleh ke arah mereka. Berkali-kali suara “ssstt” terdengar, mengingatkan kepada mereka untuk berbicara lebih pelan.

Saya kemudian iseng mengirim whatsapp ke E, mengatakan keprihatinan saya karena posisinya yang terjebak tidak bisa kabur dan dengan terpaksa harus melayani si L mengobrol. Teman saya bilang “Ini namanya latihan kesabaran”. Saya dan E sempat saling curi pandang dan dia mengirimkan isyarat “tolong selamatkan aku dari sini”. Sekali lagi, saya hanya bisa tertawa kasihan.

Sementara L tidak sadar bahwa lawan bicaranya sudah ingin mengubur diri dalam-dalam karena malu. L terus berceloteh, mengenai hutan Amazon, obat-obatan generik, dunia perkuliahan, kuliah ke luar negeri, memori laptop dan hal-hal lain yang saya tidak bisa melihat korelasi antar topik pembicaraan mereka.

Sekali lagi, saya hanya bisa tersenyum simpul dan mendoakan kesabaran E. 🙂

 

 

Assalamu’alaikum 2015

Ini adalah postingan pertama saya setelah saya resmi menjadi dokter (penting). Saya terserang penyakit malas dan terlalu sibuk untuk mulai menulis kembali. Padahal blog ini sudah meraung-raung minta diisi. Ini juga adalah postingan pertama saya di tahun 2015. Dan postingan ini juga akan menjadi postingan pertama saya yang berisi tentang review film.

Saya tidak bisa dikatakan ahli dalam hal krtis-mengkritisi atau mereview sesuatu. Tapi tidak ada salahnya mencoba. Hehe.

Pada sebuah siang yang cukup teduh, setelah menyelesaikan tugas magang lebih awal dan lebih cepat (akan saya ceritakan di lain kesempatan mengenai kegiatan saya belakangan ini #sokpenting), saya dan rekan magang saya, sebut saja Nn. Enni (nama tidak disamarkan), bingung selanjutnya apa yang akan kami kerjakan.

Kami akhirnya leyeh-leyeh di kamar koas (yang sebenernya sudah bukan hak kami lagi, dan mungkin kami tidak diperbolehkan lagi santai-santai di sana). Tiba-tiba Enni teringat janji kami minggu lalu, bahwa kami akan menonton film Assalamu’alaikum Beijing bersama-sama. Kami menganggap bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk pergi nonton.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi nonton ke Atrium, berdua saja. Kami memesan tiket pukul 13.00 dan setelah memesan tiket kami bisa langsung masuk ke studio. Saya sudah mendengar dari beberapa teman bahwa film ini bagus, untuk ukuran film yang diangkat dari novel. Saya sendiri penggemar Bunda Asma Nadia, dan tidak sangsi bahwa filmnya juga akan sebagus novelnya (padahal belum pernah baca), atau minimal saya yakin bahwa bukunya memang lebih bagus dari filmnya (haha, ya iyalah).

Film ini mengambil setting di Indonesia dan di Beijing, China. Mengisahkan tentang Asma(ra) yang patah hati karena ia baru mengetahui di H-1 pernihakannya bahwa calon suaminya selingkuh dengan wanita lain. Bahkan wanita itu sampai hamil. Asma kemudian membatalkan pernikahannya dengan Dewa. Ia kemudian dikirim ke Beijing sebagai koresponden dari Indonesia untuk menulis di kolom surat kabar mengenai Beijing. Ia mengambil tema Assalamu’alaikuum Beijing untuk tulisannya. Di Beijing, ia disambut oleh Sekar dan Ridwan, sahabatnya.

Asma kemudian berkeliling Beijing dan melihat kebudayaan Beijing yang begitu beragam, berkunjung ke situs-situs sejarah dan mengamati bahwa Islam sendiri sudah bukan sesuatu yang asing di Beijing. Di tengah perjalanannya mencari bahan berita, ia bertemu dengan seorang lelaki bernama Zhong Wen (yang kemudian dipanggil oleh Sekar sebagai Chung Chung). Mereka bertemu secara tidak sengaja di bus. Zhong Wen memanggil Asma dengan sebutan Ashima, walaupun Asma sudah berkali-kali meralat panggilan Zhong Wen untuknya. Akhirnya Asma tahu bahwa Ashima sendiri adalah sebuah legenda tentang seorang wanita di tempat tinggal Zhong Wen, yaitu di Yunan. Sebelum mereka berpisah, Zhong Wen sempat memberi Asma buku yang menceritakan tentang Ashima. Zhong Wen berjanji jika mereka bertemu lagi, ia akan membacakan buku itu untuk Asma.

Singkatnya, setelah beberapa saat mereka berusaha saling mencari dan nyaris ketemu, akhirnya Asma bertemu dengan Zhong Wen. Zhong Wen menggantikan Sunny, tour guide Asma pada awalnya. Berdua mereka mengeksplorasi Beijing, kebudayaan dan juga sejarahnya. Zhong Wen, yang ternyata bisa berbahasa Indonesia, bahkan paham sekali mengenai sejarah Mesjid (apa ya lupa namanya) tua di Beijing, yang sudah berusia 1000 tahun lebih. Saat Asma mengajaknya masuk ke dalam mesjid, Zhong Wen menolak, karena ia bukan muslim dan tidak diperbolehkan masuk ke dalam mesjid.

Setelah berjalan-jalan, mereka berdua mampir ke sebuah toko, di sana Asma membelikan Zhong Wen sebuah kopiah dan memintanya untuk mencoba.

Zhong Wen berjanji akan membawa Asma ke Yunan, kota kelahirannya, dan memperlihatkan patung Ashima kepada Asma. Tepat pada hari mereka akan pergi, Asma malah pulang ke Indonesia dan hanya memberitahukan hal ini lewat surat kepada Zhong Wen. Asma harus pulang karena sakit yang ia derita. Ia mengalami Antifospolipid sindrom, sebuah penyakit autoimun, yang menyebabkan penggumpalan darah sewaktu-waktu. Asma mengalami stroke dan membuatnya lumpuh. Ia harus menjalani pengobatan dan fisioterapi agar bisa berjalan kembali.

Zhong Wen sangat kehilangan Asma. Dalam kesendirian dan kerinduannya kepada Asma, ia kembali mengunjungi mesjid yang pernah mereka kunjungi bersama. Ia mengatakan bahwa banyak hal yang ingin ia tanyakan. Di sana ia bertemu dengan Imam mesjid yang kemudian mengajarkan banyak hal padanya. Akhirnya ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim.

Masalah tidak selesai sampai di situ, Dewa, mantan calon suami Asma tetap keukeuh untuk meminta Asma kembali padanya. Namun, Asma yang sudah terlanjur kecewa pada Dewa berkali-kali menolaknya. Asma juga mulai merasakan bahwa ia menyukai orang lain.

Singkat cerita, atas bantuan Sekar (yang sudah berada di Indonesia menemani Asma), yang awalnya hanya iseng mengirimkan balasan e-mail kepada Zhong Wen atas nama Asma, akhirnya Zhong Wen datang ke Indonesia bersama Mas Ridwan. Saat itu Asma mengalami serangan kembali, ia tiba-tiba tidak bisa melihat.

Namun, setelah mendengar Zhong Wen datang dan mengucapkan salam kepadanya, ia tersenyum karena tahu bahwa Zhong Wen sekarang sudah menjadi seorang muslim. Asma mendadak pingsan dan harus dirawat di ICU. Dalam waktu-waktu kritisnya, Zhong Wen tidak pernah sekalipun meninggalkannya. Zhong Wen bahkan meminta restu ibu Asma untuk menikahi Asma.

Asma kemudian sadar, dan ia bisa melihat kembali. Akan tetapi, ia menjadi tidak bisa berbicara karena ada kerusakan di area Broca di otaknya. Awalnya ia takut menerima Zhong Wen karena hanya akan membuat laki-laki itu kecewa. Tapi Zhong Wen meyakinkan Asma bahwa tidak butuh fisik yang sempurna untuk mendapatkan cinta yang sempurna.

Mereka akhirnya menikah dan kembali ke Beijing. Di sana mereka memulai hidup baru sebagai sepasang suami istri yang bahagia. Asma akhirnya melihat patung Ashima yang sudah lama dijanjikan oleh Zhong Wen. Asma kemudian hamil. Zhong Wen khawatir akan keadaan Asma dan calon bayi mereka, karena Asma bisa keguguran setiap saat. Asma menuliskan sesuatu di atas kertas yang membuat Zhong Wen yakin bahwa mereka bisa melalui ini semua. Tulisan itu berbunyi “Anak kita akan setangguh cinta ibu dan ayahnya”.

Nah, begitulah kisah Asma dan Zhong Wen. Ini sih bukan review namanya, tapi menceritakan kembali. Hehe. Habis saya nggak tahan untuk tidak menceritakan kisah mereka secara lengkap.

Menurut saya film ini bagus, karena menyajikan alur yang tidak bertele-tele dan mengalir seperti air. Walaupun saya tahu ending cerita ini akan seperti apa tanpa harus membaca bukunya terlebih dahulu, tapi hal ini tidak mengurangi nilai dari film ini. Saya suka penggambaran tokoh yang tidak lebay, sangat apa adanya dan natural. Semua ini didukung oleh akting semua pemain yang memang oke.

Saya suka bagaimana karakter Asma yang digambarkan tenang dan cerdas, kemudian karakter Zhong Wen yang sederhana, apa adanya namun pintar. Juga karakter-karakter pendukung seperti Dewa yang antagonis, namun tidak jahat-jahat banget. Begitu juga Anita, sosok wanita yang sebenarnya tidak jahat, melainkan adalah seorang korban di sini. Apalagi Sekar dan Ridwan yang membuat film ini terasa ramai dan natural. Sangat pas dengan kehidupan sehari-hari. Tidak dramatis dan tidak lebay.

Saya awalnya merasa sangsi karena peran Zhong Wen dimainkan oleh Morgan Oey, yang notabene tidak punya nilai plus di mata saya. Saya masih menganggap bahwa Morgan adalah sosok lelaki boy band yang cheesy dan sok cool. Tapi ternyata dia cocok banget memerankan Zhong Wen. Saya sampai lupa bahwa itu Morgan. Well, film ini setidaknya memberikan titik balik bagi Morgan, karena hampir semua orang pasti seperti saya, akhirnya mengubah pendapat saya tentang Morgan yang dulu menjadi Morgan sekarang alias Zhong Wen yang bersahaja dan sangat gentleman.

Selain menonjolkan kisah cinta, saya juga senang dengan film yang di dalamnya sarat akan ilmu dan pengetahuan baru. Dalam film ini, banyak sekali unsur-unsur kebudayaan, sejarah dan nilai-nilai Islami yang bisa menjadi pelajaran, sehingga kita keluar dari bioskop dengan ilmu baru yang tidak pernah diketahui sebelumnya.

Walaupun beberapa hal dalam film ini memang sangat fiksi sekali. Misalnya saja betapa gampangnya Asma dan Zhong Wen bertemu kembali, membuat saya bertanya-tanya apakah Beijing memang sesempit itu? Kemudian bagaimana Asma yang begitu cepat pulih dari sakitnya. Tapi, sekali lagi, nggak ada yang nggak mungkin kalau Allah sudah berkehendak. Iya, kan? Hehe. Sekali lagi, semuanya masih dalam batas masuk akal kok.

Satu hal lagi yang mengganggu hati saya saat menonton tentu saja dari segi medisnya. Salah satu teman saya bilang, kalau ingin menikmati sebuah film, jangan menontonnya dari sisi seorang dokter atau mahasiswa kedokteran, tapi nontonlah sebagai orang awam. Nah, masalahnya satu hal ini cukup mengganggu saya. Hehe. Dalam film digambarkan bahwa Asma mengalami afasia Broca atau motorik.

Film ini sukses membuat saya berurai air mata dan nyaris sesegukan. Enni juga mengalami hal yang sama dengan saya. Bahkan ibu-ibu di sebelah saya yang nonton dengan anaknya, sepertinya menghabiskan hampir sekotak tisu sepanjang menonton film jika dilihat dari jumlah tisu yang berserakan di lantai. Saya bahkan bisa mendengar ibu itu menangis sesegukan tidak peduli sekeliling.

Yang membuat saya salut adalah, banyak sekali penonton film ini yang notabene bukan Muslim. Ya, saya melihat banyak orang Tionghoa yang menonton film ini. Semoga film ini bisa menjadi gambaran mengenai indahnya Islam kepada mereka.

Secara keseluruhan film ini bagus. 9/10. Saya jarang menonton film Indonesia di bioskop (maafkan T__T). Film ini adalah film Indonesia ketiga yang saya tonton di bioskop setelah 5 cm dan Habibi-Ainun, dan saya tidak menyesal. Film ini membuat saya ingin pergi ke Beijing bersama Chung Chung saya nanti. Hehe. Amin.

Super-Mega-Extraordinary News..! (Especially for Me)

Alhamdulillah..! Alhamdulillah..! Allahu Akbar..! Yes, yes, yes!

Akhirnya! Setelah satu bulan lebih penantian yang lamanya seperti tiada akhir, keluar juga pengumuman hasil ujian nasional Dokter. Saya LULUS..!!!! Entah dengan nilai berapa, tidak peduli. Yang penting saya lulus. Saya dan 176 teman lainnya. Kami lulus. We’re officially “doctor” now.

Wow. Still can not believe that. After having a month of hell, finally I heard a good news.

AAAAAAA, i’m so happy. Very happy.

I am dr. Monika Besti Yolanda

😀

 

#superlatepost

Koas Bau

Di tengah-tengah kebosanan yang melanda, saya justru banyak merenung dan melihat kembali ke belakang. Semua hal yang telah saya alami, baik senang, sedih, menjengkelkan atau menggelikan rasanya muncul di otak saya bagaikan sebuah film yang diputar berulang-ulang. Kenangan semasa koas rasanya sayang sekali jika tidak diabadikan dalam bentuk tulisan. Mungkin jika sudah tua nanti, saat saya membaca kembali tulisan ini, saya akan tertawa ngakak mengingat semua kebodohan yang telah dilakukan.

Masa koas kata sebagian mahasiswa kedokteran adalah masa paling menyenangkan sekaligus melelahkan. Lelah sekali sampai-sampai rasanya ingin menyerah dan berhenti saja. Kalau saja saya tidak punya teman-teman dengan tingkat kegilaan yang sama dengan saya, saya juga pasti sudah akan menyerah dari jauh-jauh hari.

Selama dua tahun penuh kami menjalani masa koas, atau bahasa kerennya biar terkesan sangat berkelas, kami disebut sebagai dokter muda. Literally “muda”, baik secara umur maupun pengalaman. Masa koas ini benar-benar seperti nano-nano alias campur aduk rasanya. Tapi saya dengan bangga menobatkan bahwa masa koas ini adalah masa paling berarti dalam hidup saya. Bagaimana tidak, kami yang masih muda dan labil ini dituntut untuk menjadi sosok yang dewasa dan bertanggungjawab. Sulit sekali. Rasanya sama saja seperti menyuruh anak SD untuk langsung menginjakkan kaki di bangku SMA.

Well, tapi ternyata toh kami berhasil melaluinya. Dengan gemilang. Plus cucuran keringat, darah dan air mata. Haha. Lebay ah.

Istilah “Koas Bau” memang terkenal di kalangan para mahasiswa kedokteran. Sebenarnya ini adalah sebuah julukan, bagi koas atau dokter muda yang memiliki bakat terpendam untuk memanggil banyak pasien pada saat jaga malam.

Kami, para koas, selain belajar tanpa henti dari hari Senin sampai Jumat, juga memiliki kewajiban untuk jaga malam, entah itu di IGD ataupun bangsal sesuai stase yang sedang dijalani. Awalnya sulit bagi saya untuk menyesuaikan jam biologis. Saya terbiasa tidur sebanyak sekitar 8 jam sehari. Namun, jika kebagian jaga malam, kadang saya hampir tidak tidur sama sekali. Selama 24 jam penuh. Kalau beruntung, bisa dapat sejam atau dua jam terlelap. Itupun tidak sengaja. Dan berakhir dengan rasa bersalah dan penyesalan. Hehehe.

Kembali ke istilah koas bau. Saya sendiri dengan bangga mengatakan bahwa saya adalah seorang koas bau. Entah kenapa setiap saya yang mendapat giliran jaga malam, pasien pasti berdatangan tanpa henti. Bahkan untuk bernapas pun susah. Awalnya saya tidak menyadari kemampuan khusus saya ini. Hingga akhirnya setelah menjalani beberapa stase, teman-teman saya mulai menyadari bahwa ada yang salah dengan saya. Saya benar-benar pemanggil pasien!

Pada saat jaga IGD di stase Neurologi, saya praktis tidak tidur sama sekali. Jangankan tidur, sekedar menempelkan pantat di kursi saja tidak bisa. Kasihan sekali partner jaga saya harus kecipratan sial. Banyak sekali pasien neurologi pada malam itu. Entah stroke, cedera kepala ringan, sedang, berat karena kecelakaan dan lain-lain. Saya kebagian menangani dua pasien dengan cedera kepala berat dan bertingkah aneh dengan berbicara meracau dan bernyanyi-nyanyi pakai bahasa Zimbabwe.

Pada saat jaga Forensik lain lagi. Saya bisa jadi adalah koas yang memiliki logbook dengan isi kasus terbanyak. Saya mendapatkan banyak kasus untuk Forensik Klinik (intinya menangani pasien yang hidup), seperti penganiayaan, pemerkosaan, kekerasan benda tajam, tumpul, KDRT daaan lain-lain. Dan kebetulan saya selalu kebagian jaga dengan residen bau, dan juga konsulen bau yang juga tukang panggil pasien. Gimana nggak kombo tuh? Di lain hari, saya mendapatkan begitu banyak mayat untuk dilakukan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam (autopsi). Saya, teman saya dan seorang residen pernah melakukan autopsi dari jam 4 pagi sampai jam 7.30 pagi! Bayangkan, teman-teman saya sudah pada berdatangan untuk kuliah sementara saya masih berkutat di ruang autopsi dan bau mayat. Akhirnya saya terbirit-birit mandi. Sepertinya bau mayatnya nggak hilang. Soalnya saya mandi secepat kilat. Biarin, daripada terlambat kuliah. Dan selama seharian itu, saya yang jadi seperti mayat hidup karena nggak tidur sama sekali.

Lain lagi pada saat saya jaga stase Anestesi. Pada saat itu saya kebagian jaga ruang OK (ruang operasi) di RS Persahabatan. Berdasarkan info dari teman-teman yang telah jaga di sana sebelumnya, jaga di sana nggak capek, bisa tidur dan malah nggak ngapa-ngapain. Saya sudah melenggang senang, dan lupa pada kemampuan aneh saya memanggil pasien. Walhasil, saya malam itu benar-benar tidak tidur sama sekali. Situasi masih aman sampai habis Isya. Setelah itu, keadaan menjadi tidak terkendali. Saya dan teman saya harus mengikuti 5 operasi sectio caesaria dan 1 operasi apendisitis perforasi. Aaarrggh.. Padahal katanya nggak ngapa-ngapain. Akhirnya saya dan teman saya bergantian mengawasi keadaan pasien. Kami bergantian tidur jongkok di sudut ruang OK. Saking lelahnya, sambil nongkrong pun saya bisa terlelap. Penderitaan dan kekejaman itu akhirnya berakhir pada pukul 04.00 pagi. Dengan mata terpejam kami mencari kasur yang sebenar-benarnya. Syukurlah, masih bisa tidur satu jam menjelang subuh. What a day!

Itu sedikit cerita dari tingkat IV. Lain lagi masa-masa di tingkat V. Setiap stase selalu ada jaga malam.

Di stase Bedah, sepertinya pamor saya sedang redup. Saya tidak mendapatkan jatah hecting (menjahit) sekalipun selama jaga. Soalnya tidak ada pasien kecelakaan yang datang. Akhirnya saya mendapatkan menjahit satu kali. Itupun hanya tiga jahitan! Dan atas belas kasihan teman saya yang tahu bahwa saya belum pernah satu kalipun menjahit selama stase itu. Dan dia pun dengan sabar mengajar dan membimbing saya menjahit. Baik hati? Iya. Tapi sejak saat itu, dia sama sekali nggak lupa bahwa saya mendapat rekor dengan menjahit paling sedikit selama stase bedah. Dan dia selalu mengungkit-ungkitnya kapan ada kesempatan. Ugh.

Habis stase Bedah adalah stase Ilmu Kesehatan Anak. Di sini saya dapat jackpot yaitu mendapatkan jatah laporan jaga akbar. Saya dan rekan jaga harus membuat laporan jaga dan mempresentasikannya di depan teman-teman, residen dan seluruh konsulen Anak! Rasanya seperti diminta untuk terjun ke neraka.

Jaga malam saat itu heboh sekali. Ramai. Dua anak henti napas dan jantung. Harus diresusitasi. Residen cuma ada tiga dan dua koas. Dan tangan koas masing-masing hanya ada dua. Tapi kami dimintai tolong kesana kemari sampai bingung harus mengerjakan apa dan yang mana duluan. Jaga malam itu diakhiri dengan menyelesaikan laporan jaga terbirit-birit dibantu oleh residen baik hati. Dan karena waktu sudah mepet, (saya selesai jaga jam 7 pagi sementara pukul 7.30 sudah harus presentasi), akhirnya saya membuat keputusan besar dalam hidup saya walaupun harus menanggung malu. Saya nggak mandi pagi. Nggak ada waktu. Akhirnya hanya cuci muka, sikat gigi dan ganti baju lalu cepat-cepat ngacir ke ruang laporan jaga. Ih, semoga nggak ada yang nyadar.

Jaga di ruang Perinatologi juga sama aja. Begitu banyaknya ibu-ibu yang memutuskan untuk melahirkan malam itu. Akhirnya saya harus ikut operasi SC sambil terkantuk-kantuk dan menunggui dedek bayi lahir untuk dilakukan penanganan awal. Esok paginya saya dapat tugas memberikan vaksinasi dan vitamin K pada the newborn baby dan memberikan mereka susu botol. Satu lagi. Saya dan teman saya yang cowok, akhirnya bisa menggendong bayi! hahaha.

Saat saya jaga di RS Harapan Kita, pada hari Minggu, dan saya mendapatkan 37 pasien baru. Padahal biasanya teman-teman saya hanya mendapatkan sekitar 7 sampai 10 pasien baru. Teman-teman sampai geleng-geleng kepala prihatin sama saya.

Sementara stase Obstetri dan Ginekologi alias stase kandungan saya nobatkan sebagai jaga malam paling hina yang pernah saya alami seumur hidup. Setiap saya jaga, entah kenapa semua ibu-ibu hamil di dunia pengen melahirkan saat itu juga. Sebanyak 9 kali jaga, sebanyak itu pula saya nggak tidur sama sekali saat jaga. Boro-boro tidur, duduk juga cuma pas sholat doang. Hih! Capeknya jangan ditanya. Tapi saya beruntung, saya mendapatkan kesempatan 5 kali mengerjakan partus dan beberapa kali melakukan periniorafi, serta banyak tindakan lain.

Kenangan selama stase obgyn ini luar biasa. Saya pernah mendapati seorang ibu, yang pecah ketuban dan saat semua orang sedang tidak di ruangan itu, hanya saya seorang, tiba-tiba si ibu mengedan sedikit dan tiba-tiba si bayi meluncur keluar! Astaga, saya refleks berteriak. Dan saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya belum pakai sarung tangan, dan akhirnya cuma bisa bengong sampai bantuan datang.

Belum lagi pengalaman ditendang pasien saat membantu partus dan disemprot air ketuban langsung ke seluruh tubuh. Saya tidak bawa baju jaga lebih, akhirnya saya membiarkan air ketuban itu kering sendiri di baju saya. Iyuuuh. Jijay.

Saat jaga di stase Penyakit Dalam juga nggak lebih baik. Setiap saya jaga entah kenapa semua pasien sekarat dan tiba-tiba henti jantung sehingga harus diresusitasi. Pernah, saat saya jaga bangsal RSCM. Saya baru melapor ke residen bahwa saya jaga pada hari itu. Tiba-tiba dapat pemberitahuan bahwa ada Code Blue (tanda ada pasien yang butuh resusitasi) saat itu juga. Saya cuma bisa nyengir. Sepertinya aura saya gelap sekali, ya. Jadilah sesorean itu mengurusi pasien yang gawat tersebut yang akhirnya terpaksa masuk ICU. Dan FYI, badannya gede banget sementara yang ngangkut itu pasien ke ICU cewek-cewek semua. Padahal itu lagi hari Kartini. Yah, ini kali yang namanya emansipasi wanita.

Pasien follow-up saya juga nggak kalah gawat. Di setiap Rumah Sakit, pasti ada saja pasien follow up saya yang akhirnya meninggal. T__T. Ini bukan karena saya yang salah penanganan atau apa, ya. Tapi memang saya kebagian pasien yang gawat-gawat dengan penyakit terminal. Dan kebetulan malaikat maut menjemput pas saya lagi ada di sana. Oh well, jangan-jangan saya ini juga pemanggil malaikat maut. Ih, nggak deh amit-amit.

Saya juga pernah jaga bangsal terheboh di RSUD Tangerang. Ih, pasien yang masuk ke bangsal nggak habis-habis. Saya dan rekan jaga tiga bangsal sekaligus, yang tiap bangsalnya ada sekitar 20 pasien. Dan residen jaga hanya bisa on call saja. Aaak, kaki rasanya mau patah bolak balik sana sini. Dan nggak tidur lagi. Well, wesbiyasak.

Di stase IPD, kami harus follow up pasien jam 5 pagi. Status pasien yang harus diselesaikan banyak banget. Kami tidur tengah malam dan bangun pagi-pagi buta. Akhirnya, saya dan teman-teman tidak pernah mandi pagi sebelum follow up pagi. Hanya sempat sholat subuh dan ganti baju. Sarapan pun nggak sempat, kami sudah harus ngacir sebelum residen datang.

Yah, saya tidak pernah menyesali kemampuan aneh bin ajaib saya ini. Karena ternyata tidak saya seorang. Tapi jumlah koas bau ini ya nggak banyak. Kami jadi fenomenal. Salah seorang teman bahkan terang-terangan bilang nggak mau jaga bareng saya, bisa-bisa dia mati muda. Iihh, jahat banget.

Saya juga kerap kali disalahkan oleh residen saat jaga malam.

“Dek, kamu sih pemanggil. Saya biasanya jaga sepi. Gara-gara ada kamu IGD rame banget, nih. Kamu pulang aja sana, deh.”

Hahaha. Kalau bisa sih saya mau pulang, Dok.

Setidaknya saya dapat banyak pengalaman dan pelajaran yang lebih, serta pengalaman unik yang bisa saya ceritakan ke anak cucu. Cerita masa koas ini memang tidak ada habisnya.

Semoga saat residen nanti, kemampuan saya memanggil pasien ini sudah luntur. Pasien plis datang dalam jumlah normal aja, deh. Ramenya ntar aja pas saya sudah praktik sendiri. Nah, kan lumayan tuh nambah income. Hehehe.

Ah, kangen sekali masa-masa koas di tengah masa pengangguran saat ini. 😀

Not the End of the World

I was having bad days. Literally bad days. Hehe. Saat menuliskan ini, mungkin rasa sakitnya jadi dua kali lipat lebih terasa. Tapi tidak ada pelampiasan yang lebih baik daripada menulis.

Tomorrow, my friends will have they first Eurotrip. I should be there too. But it’s really pity I can’t go.

Beberapa bulan belakangan, saya sibuk untuk mempersiapkan Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Dokter (UKMPPD) alias Ujian Nasional untuk mahasiswa kedokteran sebelum kami disumpah dan mendapatkan gelar dokter di depan nama kami. Bersamaan dengan itu, datanglah sebuah kabar gembira yang menyatakan bahwa penelitian saya dan kawan-kawan sekelompok diterima di European Students Conference yang diadakan di Jerman bulan September ini. Kabar ini seperti oase di padang pasir. Begitu menyegarkan di tengah segala kesibukan dan tuntutan belajar.

Kami segera menyiapkan apapun yang diperlukan. Berkas persyaratan visa, proposal permohonan bantuan dana dan lain-lain. Ini akan menjadi perjalanan Eropa pertama kami. Kami berempat sudah berikrar akan sampai di benua tersebut bersama-sama. Saya berharap semuanya berjalan sesuai rencana.

Tapi Allah berkata lain. Satu hari sebelum appointment visa saya di Kedutaan Besar Jerman, saya malah masuk rumah sakit dan harus diopname. Bayangkan saja betapa terpukulnya saya. Terlebih lagi hari itu adalah H-5 ujian akhir dan dokter tidak bisa menjanjikan saya bisa keluar dari rumah sakit sebelum ujian. Artinya saya harus izin keluar dari RS untuk mengikuti ujian.

Lagi-lagi saya membuat kedua orangtua saya khawatir. Mereka akhirnya mengatakan bahwa saya sebaiknya berpikir ulang untuk keberangkatan ke Jerman dengan kondisi kesehatan yang seperti ini. Saya tidak ingin membuat mereka khawatir. Jadi dengan berat hati saya mengatakan kepada ketiga sahabat saya bahwa saya tidak bisa melakukan Eurotrip bersama mereka. Saya tahu mereka marah dan kecewa. Tapi apalagi saya. Saking marah dan kecewanya, saya hanya bisa diam. Dan terdiam dengan keadaan lemah terbaring di tempat tidur dan terpasang selang infus membuat semuanya terasa sepuluh kali lebih buruk.

Saya sudah tidak terlalu memikirikan keberangkatan itu. Toh saya tidak mungkin lagi membuat perjanjian visa karena semuanya sudah mepet. Pesanan hotel dan penginapan di sana juga semuanya sudah di cancel. Ah, semua rencana saya selama berbulan-bulan gagal. Dalam waktu kurang dari 24 jam.

Sisa hari di rumah sakit saya habiskan untuk belajar saja. Mencoba berkonsentrasi pada ujian akhir. Ujian dalam keadaan sakit seperti ini sama sekali tidak mudah. Dalam keadaan sehat saja kepala rasanya mau pecah. Tapi toh ujian ini berhasil saya lewati, terlepas hasilnya nanti bagaimana. Dan saya juga sudah keluar dari rumah sakit. Tapi tetap saja, perjalanan saya ke Eropa gagal. Dan hal itu tidak bisa diganggu gugat. There’s no way back, and knowing that I have no choice makes it thousand times worse.

Selama pemulihan saya mencoba berdamai dengan diri dan hati saya. Tapi melihat ketiga sahabat saya sibuk ini dan itu untuk mempersiapkan keberangkatan, sementara saya hanya menonton saja dan menelan ludah, rasanya tidak bisa dideskripsikan. Mereka akan pergi tanpa saya.

Saya sampai berpikir untuk tidak akan membuka media sosial selama sebulan demi menghindari melihat postingan mereka di sana nanti.

Kalau mengingat kejadian beberapa bulan kebelakang, saya sebenarnya merasa kesal. Tapi semakin kesini rasa kesal itu sepertinya memudar. Saya malah ingin menertawai diri saya yang tidak dewasa. Anggap saja ini ujian. Akan banyak sekali kesempatan lainnya menunggu. Dan tentu saja saya tidak ingin membuat orangtua saya khawatir dan tidak bisa tidur setiap malam jika saya jadi berangkat.

Hey, kita masih muda kan? This is not the end of my world. Seperti yang salah seorang sahabat saya yang lain katakan dalam blognya, Eropa nggak akan pindah kemana-mana. Ya, saya percaya. Suatu hari saya akan sampai kesana. Mungkin tidak dengan sahabat, tapi dengan teman seumur hidup saya. 🙂

Selamat Ulang Tahun!

Selamat ulang tahun Blog..!

Tidak terasa sudah 4 tahun aku ditemani olehmu. Walaupun sebenarnya aku tidak ingat persis tanggal aku membuatmu. Aku hanya ingat blog ini ada sejak September 2010. Hehehe. Maafkan aku karena benar-benar lupa.

Semoga kau selalu menjadi teman terbaikku dan setia mendengarkan celotehanku setiap saat.

Trying Something New

Pernahkah kalian merasa sangat bosan sampai-sampai kalian berharap ada sebuah keributan di luar sana yang setidaknya membuat adrenalin kalian sedikit berpacu, misalnya ada ancaman bom, serangan jet tempur, atau mungkin sebuah pembunuhan di mana kalian bisa ikut melakukan pemeriksaan TKP dan menemukan pelaku pembunuhan a la CSI. Oke, ini berlebihan. Tidak ada manusia waras yang menginginkan adanya kekacauan di muka bumi ini, apalagi tepat terjadi di depan hidungnya. Saya terlalu banyak menonton film action, detektif dan fantasi. Sedikit banyak mungkin ini mempengaruhi jalan pikir saya. (But I’m not crazy, trust me).

Jadi, saya sering kali merasa terlalu bosan dengan kehidupan saya sehari-hari. Rasanya saya menjadi semacam robot perempuan yang di kontrol dengan remote. Melakukan hal yang sama, atau setidaknya hampir sama setiap harinya benar-benar membuatmu kehilangan rasa terhadap aktivitas itu. Bukan berarti aktivitas saya sehari-hari adalah hal yang membosankan, sama sekali tidak, melelahkan hingga membuat ingin dorman sih iya.

Berkegiatan sehari-hari di Rumah Sakit dan lingkungan pendidikan kedokteran memiliki dampak tersendiri bagi saya, cara pikir saya dan terutama aktivitas saya sehari-hari. Berhadapan dengan orang sakit setiap hari bukanlah hal yang menyenangkan. Well, tidak semua sih. Saya selalu merasa pasien-pasien saya adalah guru terbaik dalam hidup saya. Saya mendapatkan banyak pelajaran. Pelajaran hidup terutama.

Tapi melakukan hal yang sama ratusan kali agak membuat saya, ehm, mati rasa. Tapi tidak selalu. Saya tidak akan bertahan hidup dalam pendidikan saya jika terus menerus merasa seperti itu. Oleh sebab itu, saya berusaha mencari jalan, agar setiap paginya saat saya melangkah di lorong rumah sakit itu, saya selalu merasa ini adalah awal hidup saya yang baru.

Saya senang mengamati perilaku orang. Entah cara bicaranya, cara berpikir, berpakaian, menyapa orang lain, menunjukkan rasa sukanya pada orang lain hingga menunjukkan wajah kekesalan yang tidak perlu susah payah untuk disembunyikan.

Saya selalu merefleksikan diri saya ke dalam diri orang lain. Saya mencoba untuk berpikir tidak biasa. Bagaimana kalau saya menjadi dia, menjadi orang lain? Bagaimana jika saya menjalani hidupnya sehari saja, sekedar untuk merasakan hal yang berbeda.

Well, itu tidak mungkin terjadi. Jadi yang saya lakukan adalah menjadi peniru. Semacam bunglon yang bisa berubah warna sesuai tempat ia berada. Sebenarnya tidak persis seperti itu. Atau mungkin istilah lainnya kamuflase, ya? Ah, entahlah. Tapi kira-kira begini. Saya mempunyai sekitar dua, tiga empat atau lebih orang-orang yang sifat dan sikapnya menarik perhatian saya. Saya selalu merasa sepertinya keren jika menjadi orang ini. Maka, pada saat saya terbangun pada pagi hari saya memutuskan untuk sehari saja mencoba bersikap seperti orang itu.

Saya menirukan caranya berjalan (oke, tidak persis seperti itu sebenarnya), caranya menyapa sesama teman, caranya berpikir, caranya belajar, caranya membuat orang lain tertawa dan lain-lain.

Kalian tau hasilnya apa? Sangat menyenangkan ternyata. Saya berhasil mungkin sekitar 80% meniru orang ini. Tapi apakah saya merasa puas? Ternyata tidak. Saya justru merasa menjadi pribadi yang bukan diri saya sendiri itu tidak enak. Saya merasa seperti menggunakan topeng. Walaupun orang lain pasti tidak menyadari bahwa saya sedang melakukan, apa ya istilahnya, penyamaran (?) tapi saya bisa merasakan hati nurani saya menolak. Well, this is really not me.

Akhirnya saya menyerah mencoba menjadi orang lain. Melelahkan.

Saya kemudian melakukan cara lain, yaitu dengan kadang-kadang melakukan pengintaian (apasih) terhadap orang-orang tertentu di media sosialnya. Apa yang orang itu pikirkan, tuliskan dan lakukan setiap harinya?

Saya tahan men-scroll twitter seseorang berjam-jam. Saya suka melihat gaya bahasanya, bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain dalam dunia maya. Saya kemudian berpikir, saya sepertinya tidak bisa seperti ini. Kemudian saya melakukan hal sebaliknya, saya membaca semua tweet yang pernah saya tulis. Hmm, ternyata saya juga tidak parah-parah amat. Saya tergolong hanya orang di balik layar dalam sosial media alias hanya mengamati saja, jarang mengepos sesuatu. Tapi saya juga sadar bahwa saya tidak pernah mengepos sesuatu yang bodoh, merugikan orang, atau menjelekkan seseorang. Saya bisa berinteraksi dengan baik dengan orang-orang lain di sosial media. Saya terlihat “cukup menyenangkan”.

Saya juga suka melakukan blog-walking, mengagumi tulisan-tulisan teman saya di blog mereka. Ada yang sangat puitis dan bahkan membuat saya heran mengapa mereka punya cadangan kosa kata sebanyak itu, dan membuat sebuah tulisan sangat hidup. Ada yang sangat pandai menceritakan sesuatu, entah itu cerita pendek, cerita mengenai kehidupan, hikmah dan lain-lain dengan sangat pandai dan tepat sasaran. Setelah melakukan survey ke banyak blog, saya kemudian melakukan hal yang sama dengan di atas. Saya kemudian membaca ulang semua tulisan di blog saya ini. Walaupun isinya campur aduk, ada curhat, kadang kisah bijaksana, kadang informatif, kadang hanya sesuatu yang random dan tidak layak baca, dan sedikit sekali postingan yang puitis dan mendayu-dayu (Saya sangat tidak ahli dalam bidang ini). Tapi saya kemudian menyadari bahwa saya juga tidak buruk-buruk amat dalam hal tulis menulis. Setidaknya saya masih lumayan sering mengepos sesuatu, walaupun itu amat sangat tidak penting dan tidak perlu dibaca. Tapi, di sini saya menemukan diri saya. Saat saya membaca semua tulisan saya, saya seperti menemukan my other side. Saya bisa mengetahui bahwa saya memiliki sifat seperti ini, seperti itu, tidak suka begini, suka begitu dan lain-lain. Dan saya merasa bahwa saya cukup “unik”.

Entahlah, mungkin tulisan tidak penting di atas mengandung banyak kenarsisan diri. Tapi itu adalah salah satu cara saya untuk menyadari bahwa selama ini saya memiliki hidup yang menyenangkan. Saya justru mendalami dan menyelami jiwa dan karakter saya sendiri, yang dalam kondisi-kondisi biasa tidak saya sadari. Saya menemukan keistimewaan dalam diri saya, keunikan yang mungkin akan membedakan saya dengan orang lain.

Jadi, saya melakukan semacam refleksi.

Dengan cara yang mungkin aneh. Saya mungkin akan menemukan cara lain untuk membunuh kebosanan dan untuk membuat saya berhenti berpikir bahwa saya biasa-biasa saja dan hidup saya tidak istimewa.

Well, live your life happily. Find your own happiness. And don’t let others ruin your reality, and of course your dreams.

Demam Piala Dunia

World Cup 2014 sudah memasuki semifinal. Empat tim raksasa dunia sudah didapatkan untuk berlaga memperebutkan tiket menuju final. Jerman, Brasil, Argentina dan Belanda. Rasanya tidak heran kalau negara yang masuk ke semifinal sudah hampir bisa ditebak.

Tapi tidak saya pungkiri, banyak sekali kejutan yang ada di Piala Dunia 2014 ini. Semua tim benar-benar bertanding dengan segenap kemampuan terbaik mereka. Sampai-sampai saya terharu dan ikut ingin menangis jika melihat tim-tim yang kalah padahal sudah melakukan permainan terbaik mereka. Contohnya saja Aljazair dan Kosta Rika. Ah, saya memberikan dua jempol untuk mereka. Salut sekali. Tidak berlebihan kalau dunia mengatakan bahwa mereka kalah dengan terhormat dan layak pulang dengan kepala tegak.

Saya sendiri sudah nonton Piala Dunia sejak tahun 1998. Percayalah. Saya baru kelas 2 SD pada waktu itu. Officially, saya sudah menonton sepakbola sejak sebelum masuk SD. Saya anak pertama dan perempuan. Adik saya juga perempuan. Alhasil, Ayah saya tidak punya teman menonton bola. Jadinya saya yang selalu diajak untuk menemani Ayah menonton bola.

Saya yang kesal karena dibangunkan tengah malam karena diajak menonton sepakbola, lama-lama terbiasa dan menikmati. Walaupun saya sama sekali tidak mengerti apa yang sedang saya saksikan. Hanya segerombolan orang yang berebutan bola sepak dan berusaha memasukkannya ke gawang. Dan saya baru tahu bahwa pemain hanya boleh memasukkan bola ke gawang lawan. Saya kira bisa semaunya saja. Yang penting judulnya menciptakan gol. Jadi memasukkan bola ke gawang sendiri juga tidak apa-apa.

Saya baru mengerti sedikit peraturan sepakbola saat menonton Piala Dunia 1998. Saya sudah mulai tahu tim-tim besar dunia. Dan saya mulai menjatuhkan pilihan tim mana yang saya dukung. Saya ingat sekali, waktu itu saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tim nasional Jerman. Entah apa alasannya. Yang jelas, saya suka. Bukan karena pemainnya yang good-looking atau semacamnya. Saya kan masih SD, mana ngerti yang begituan.

Saat Piala Dunia 2002, saya sudah sepenuhnya paham dan sangat menikmati menonton sepakbola. Saya tetap setia menjadi pendukung Jerman. Dan lagi-lagi saya mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama pada salah satu pemain Jerman yang selalu menciptakan gol lewat sundulan. Ya, siapa lagi kalau bukan Miroslav Klose dengan nomor punggung 11. Ah, saya sangat menyukai Klose. Dia hebat, dan ditambah bonus wajahnya yang ganteng.

Setiap malam saya selalu menemani ayah saya menonton sepakbola. Kami memiliki tim unggulan masing-masing. Rasanya hampir setiap pertandingan Piala Dunia kami saksikan setiap malam. Ayah saya menyogok saya dengan indomie buatannya untuk membuat saya tetap melek.

Di Piala Dunia 2006 lebih seru lagi. Saya benar-benar cinta mati dengan timnas Jerman. Saya cinta mati dengan Juergen Klinsmann, pelatih Jerman pada saat itu. Saya hapal semua pemain inti Jerman beserta nomor punggungnya. Ada Klose, kesayangan saya, Michael Ballack, sang kapten. Ada Phillip Lahm, si kecil-kecil cabe rawit. Ada Schweinsteiger, Mertesacker, Lukas Podolski, dan tentu saja kiper legendaris Jerman yang menurut saya wajahnya sangar dan mirip Werewolf, Oliver Kahn. Sayang sekali, Jerman tidak masuk ke final.

Sayangnya saya tidak terlalu mengikuti Piala Dunia 2010, karena saya sendiri sedang sibuk ujian dan televisi saya tidak bisa digunakan untuk menonton karena isinya semut semua. Saya baru bisa menyaksikan piala dunia saat sudah masuk ke babak semifinal. Lagi-lagi, Jerman hanya bisa menikmati kemenangan sampai semifinal.

Piala Dunia tahun ini adalah kali ke-4 Jerman berhasil masuk ke semifinal. Jerman sampai dijuluki spesialis turnamen Piala Dunia. Tidak salah sih. Saya sangat menyukai gaya permainan tim Der Panzer ini. Selalu terlihat segar dan inovatif. Sekarang di bawah asuhan Joachim Loew, yang sudah menjadi pelatih mereka sejak Piala Dunia 2010, rasa-rasanya saya percaya bahwa mereka bisa tembus sampai ke final. Setidaknya menebus rasa penasaran mereka di tiga piala dunia terdahulu.

Pemain Jerman ternyata masih sangat muda-muda. Haha. Banyak wajah-wajah baru, yang baru mulai bermain pada Piala Dunia 2010 dan saat ini. Misalnya saja Neuer, sang kiper yang luar biasa gila, ada Ozil, Mueller, Goetze, Schurrle, Boateng, Hummels, Howedes, Khedira, Mustafi, Kramer, dkk.

Ah, mungkin orang menganggap bahwa cewek itu nonton Piala Dunia karena ingin melihat pemainnya yang ganteng-ganteng. Maaf saja, saya sudah menonton Piala Dunia sejak kecil. Dan kecintaan saya terhadap bola mungkin tidak sebesar maniak sepak bola lainnya, tapi saya sangat menikmati menyaksikan setiap pertandingan. Setidaknya saya mengerti peraturan permainan sepakbola. Hehehe.

Saya juga menggunakan nomor 11 untuk nomor punggung saya di baju seragam tim voli angkatan 2009. Saya sangat mengidolakan Miroslav Klose. Sampai kapanpun. Haha.

Saya sangat berharap Jerman berhasil lolos ke Final dan menjadi juara Piala Dunia. Dengan begitu, saya akan lebih termotivasi untuk memperjuangkan keberangkatan saya dan teman-teman saya ke negeri Adolf Hitler tersebut. Bismillah, semoga semua dimudahkan. Walaupun tidak akan bertemu para pemain bola di Jerman sana, tapi setidaknya saya pernah menginjakkan kaki di negara unggulan saya. 🙂

Ich liebe Deutsch 🙂

Ich Liebe Deutsch

 

Expectations Sometimes Hurts

Kecewa.

Kenapa harus kecewa? 

Aku berharap terlalu banyak.

Berharap pada siapa? Manusia?

Ya.

Kenapa menaruh harapan pada manusia jika kau masih punya Tuhanmu untuk kau jadikan sandaran?

Aku tidak pernah berpikir ke arah sana. Kupikir aku akan bahagia.

Terlalu banyak berharap pada sesama makhluk Tuhanmu kadang menyakitkan. Tidakkah kau jera?

Lalu aku harus bagaimana?

Kau punya Tuhanmu

Kenapa begitu khawatir?

…….

…….

Aku malu.

Hanya datang padaNya jika aku sudah tidak menemukan sandaran lagi.

Tuhanmu Maha Mengetahui, Maha Penyayang

Ia akan mendengar doaku? Walaupun aku terlalu banyak mengharap duniawi.

Kalau begitu berdoalah untuk akhiratmu juga. Tuhanmu tentu akan mendengarkan doamu. Tidak peduli seberapa banyak dosamu. Tidak peduli betapa sering kau mengabaikanNya.

Aku malu.

Kalau begitu minta ampun lah padaNya. Katakan kau menyesal.

Ya, aku menyesal.

Aku menyesal.

Aku menyesal.

Tapi aku yakin, belum terlambat. Terima kasih Allah.