Di tengah-tengah kebosanan yang melanda, saya justru banyak merenung dan melihat kembali ke belakang. Semua hal yang telah saya alami, baik senang, sedih, menjengkelkan atau menggelikan rasanya muncul di otak saya bagaikan sebuah film yang diputar berulang-ulang. Kenangan semasa koas rasanya sayang sekali jika tidak diabadikan dalam bentuk tulisan. Mungkin jika sudah tua nanti, saat saya membaca kembali tulisan ini, saya akan tertawa ngakak mengingat semua kebodohan yang telah dilakukan.
Masa koas kata sebagian mahasiswa kedokteran adalah masa paling menyenangkan sekaligus melelahkan. Lelah sekali sampai-sampai rasanya ingin menyerah dan berhenti saja. Kalau saja saya tidak punya teman-teman dengan tingkat kegilaan yang sama dengan saya, saya juga pasti sudah akan menyerah dari jauh-jauh hari.
Selama dua tahun penuh kami menjalani masa koas, atau bahasa kerennya biar terkesan sangat berkelas, kami disebut sebagai dokter muda. Literally “muda”, baik secara umur maupun pengalaman. Masa koas ini benar-benar seperti nano-nano alias campur aduk rasanya. Tapi saya dengan bangga menobatkan bahwa masa koas ini adalah masa paling berarti dalam hidup saya. Bagaimana tidak, kami yang masih muda dan labil ini dituntut untuk menjadi sosok yang dewasa dan bertanggungjawab. Sulit sekali. Rasanya sama saja seperti menyuruh anak SD untuk langsung menginjakkan kaki di bangku SMA.
Well, tapi ternyata toh kami berhasil melaluinya. Dengan gemilang. Plus cucuran keringat, darah dan air mata. Haha. Lebay ah.
Istilah “Koas Bau” memang terkenal di kalangan para mahasiswa kedokteran. Sebenarnya ini adalah sebuah julukan, bagi koas atau dokter muda yang memiliki bakat terpendam untuk memanggil banyak pasien pada saat jaga malam.
Kami, para koas, selain belajar tanpa henti dari hari Senin sampai Jumat, juga memiliki kewajiban untuk jaga malam, entah itu di IGD ataupun bangsal sesuai stase yang sedang dijalani. Awalnya sulit bagi saya untuk menyesuaikan jam biologis. Saya terbiasa tidur sebanyak sekitar 8 jam sehari. Namun, jika kebagian jaga malam, kadang saya hampir tidak tidur sama sekali. Selama 24 jam penuh. Kalau beruntung, bisa dapat sejam atau dua jam terlelap. Itupun tidak sengaja. Dan berakhir dengan rasa bersalah dan penyesalan. Hehehe.
Kembali ke istilah koas bau. Saya sendiri dengan bangga mengatakan bahwa saya adalah seorang koas bau. Entah kenapa setiap saya yang mendapat giliran jaga malam, pasien pasti berdatangan tanpa henti. Bahkan untuk bernapas pun susah. Awalnya saya tidak menyadari kemampuan khusus saya ini. Hingga akhirnya setelah menjalani beberapa stase, teman-teman saya mulai menyadari bahwa ada yang salah dengan saya. Saya benar-benar pemanggil pasien!
Pada saat jaga IGD di stase Neurologi, saya praktis tidak tidur sama sekali. Jangankan tidur, sekedar menempelkan pantat di kursi saja tidak bisa. Kasihan sekali partner jaga saya harus kecipratan sial. Banyak sekali pasien neurologi pada malam itu. Entah stroke, cedera kepala ringan, sedang, berat karena kecelakaan dan lain-lain. Saya kebagian menangani dua pasien dengan cedera kepala berat dan bertingkah aneh dengan berbicara meracau dan bernyanyi-nyanyi pakai bahasa Zimbabwe.
Pada saat jaga Forensik lain lagi. Saya bisa jadi adalah koas yang memiliki logbook dengan isi kasus terbanyak. Saya mendapatkan banyak kasus untuk Forensik Klinik (intinya menangani pasien yang hidup), seperti penganiayaan, pemerkosaan, kekerasan benda tajam, tumpul, KDRT daaan lain-lain. Dan kebetulan saya selalu kebagian jaga dengan residen bau, dan juga konsulen bau yang juga tukang panggil pasien. Gimana nggak kombo tuh? Di lain hari, saya mendapatkan begitu banyak mayat untuk dilakukan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam (autopsi). Saya, teman saya dan seorang residen pernah melakukan autopsi dari jam 4 pagi sampai jam 7.30 pagi! Bayangkan, teman-teman saya sudah pada berdatangan untuk kuliah sementara saya masih berkutat di ruang autopsi dan bau mayat. Akhirnya saya terbirit-birit mandi. Sepertinya bau mayatnya nggak hilang. Soalnya saya mandi secepat kilat. Biarin, daripada terlambat kuliah. Dan selama seharian itu, saya yang jadi seperti mayat hidup karena nggak tidur sama sekali.
Lain lagi pada saat saya jaga stase Anestesi. Pada saat itu saya kebagian jaga ruang OK (ruang operasi) di RS Persahabatan. Berdasarkan info dari teman-teman yang telah jaga di sana sebelumnya, jaga di sana nggak capek, bisa tidur dan malah nggak ngapa-ngapain. Saya sudah melenggang senang, dan lupa pada kemampuan aneh saya memanggil pasien. Walhasil, saya malam itu benar-benar tidak tidur sama sekali. Situasi masih aman sampai habis Isya. Setelah itu, keadaan menjadi tidak terkendali. Saya dan teman saya harus mengikuti 5 operasi sectio caesaria dan 1 operasi apendisitis perforasi. Aaarrggh.. Padahal katanya nggak ngapa-ngapain. Akhirnya saya dan teman saya bergantian mengawasi keadaan pasien. Kami bergantian tidur jongkok di sudut ruang OK. Saking lelahnya, sambil nongkrong pun saya bisa terlelap. Penderitaan dan kekejaman itu akhirnya berakhir pada pukul 04.00 pagi. Dengan mata terpejam kami mencari kasur yang sebenar-benarnya. Syukurlah, masih bisa tidur satu jam menjelang subuh. What a day!
Itu sedikit cerita dari tingkat IV. Lain lagi masa-masa di tingkat V. Setiap stase selalu ada jaga malam.
Di stase Bedah, sepertinya pamor saya sedang redup. Saya tidak mendapatkan jatah hecting (menjahit) sekalipun selama jaga. Soalnya tidak ada pasien kecelakaan yang datang. Akhirnya saya mendapatkan menjahit satu kali. Itupun hanya tiga jahitan! Dan atas belas kasihan teman saya yang tahu bahwa saya belum pernah satu kalipun menjahit selama stase itu. Dan dia pun dengan sabar mengajar dan membimbing saya menjahit. Baik hati? Iya. Tapi sejak saat itu, dia sama sekali nggak lupa bahwa saya mendapat rekor dengan menjahit paling sedikit selama stase bedah. Dan dia selalu mengungkit-ungkitnya kapan ada kesempatan. Ugh.
Habis stase Bedah adalah stase Ilmu Kesehatan Anak. Di sini saya dapat jackpot yaitu mendapatkan jatah laporan jaga akbar. Saya dan rekan jaga harus membuat laporan jaga dan mempresentasikannya di depan teman-teman, residen dan seluruh konsulen Anak! Rasanya seperti diminta untuk terjun ke neraka.
Jaga malam saat itu heboh sekali. Ramai. Dua anak henti napas dan jantung. Harus diresusitasi. Residen cuma ada tiga dan dua koas. Dan tangan koas masing-masing hanya ada dua. Tapi kami dimintai tolong kesana kemari sampai bingung harus mengerjakan apa dan yang mana duluan. Jaga malam itu diakhiri dengan menyelesaikan laporan jaga terbirit-birit dibantu oleh residen baik hati. Dan karena waktu sudah mepet, (saya selesai jaga jam 7 pagi sementara pukul 7.30 sudah harus presentasi), akhirnya saya membuat keputusan besar dalam hidup saya walaupun harus menanggung malu. Saya nggak mandi pagi. Nggak ada waktu. Akhirnya hanya cuci muka, sikat gigi dan ganti baju lalu cepat-cepat ngacir ke ruang laporan jaga. Ih, semoga nggak ada yang nyadar.
Jaga di ruang Perinatologi juga sama aja. Begitu banyaknya ibu-ibu yang memutuskan untuk melahirkan malam itu. Akhirnya saya harus ikut operasi SC sambil terkantuk-kantuk dan menunggui dedek bayi lahir untuk dilakukan penanganan awal. Esok paginya saya dapat tugas memberikan vaksinasi dan vitamin K pada the newborn baby dan memberikan mereka susu botol. Satu lagi. Saya dan teman saya yang cowok, akhirnya bisa menggendong bayi! hahaha.
Saat saya jaga di RS Harapan Kita, pada hari Minggu, dan saya mendapatkan 37 pasien baru. Padahal biasanya teman-teman saya hanya mendapatkan sekitar 7 sampai 10 pasien baru. Teman-teman sampai geleng-geleng kepala prihatin sama saya.
Sementara stase Obstetri dan Ginekologi alias stase kandungan saya nobatkan sebagai jaga malam paling hina yang pernah saya alami seumur hidup. Setiap saya jaga, entah kenapa semua ibu-ibu hamil di dunia pengen melahirkan saat itu juga. Sebanyak 9 kali jaga, sebanyak itu pula saya nggak tidur sama sekali saat jaga. Boro-boro tidur, duduk juga cuma pas sholat doang. Hih! Capeknya jangan ditanya. Tapi saya beruntung, saya mendapatkan kesempatan 5 kali mengerjakan partus dan beberapa kali melakukan periniorafi, serta banyak tindakan lain.
Kenangan selama stase obgyn ini luar biasa. Saya pernah mendapati seorang ibu, yang pecah ketuban dan saat semua orang sedang tidak di ruangan itu, hanya saya seorang, tiba-tiba si ibu mengedan sedikit dan tiba-tiba si bayi meluncur keluar! Astaga, saya refleks berteriak. Dan saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya belum pakai sarung tangan, dan akhirnya cuma bisa bengong sampai bantuan datang.
Belum lagi pengalaman ditendang pasien saat membantu partus dan disemprot air ketuban langsung ke seluruh tubuh. Saya tidak bawa baju jaga lebih, akhirnya saya membiarkan air ketuban itu kering sendiri di baju saya. Iyuuuh. Jijay.
Saat jaga di stase Penyakit Dalam juga nggak lebih baik. Setiap saya jaga entah kenapa semua pasien sekarat dan tiba-tiba henti jantung sehingga harus diresusitasi. Pernah, saat saya jaga bangsal RSCM. Saya baru melapor ke residen bahwa saya jaga pada hari itu. Tiba-tiba dapat pemberitahuan bahwa ada Code Blue (tanda ada pasien yang butuh resusitasi) saat itu juga. Saya cuma bisa nyengir. Sepertinya aura saya gelap sekali, ya. Jadilah sesorean itu mengurusi pasien yang gawat tersebut yang akhirnya terpaksa masuk ICU. Dan FYI, badannya gede banget sementara yang ngangkut itu pasien ke ICU cewek-cewek semua. Padahal itu lagi hari Kartini. Yah, ini kali yang namanya emansipasi wanita.
Pasien follow-up saya juga nggak kalah gawat. Di setiap Rumah Sakit, pasti ada saja pasien follow up saya yang akhirnya meninggal. T__T. Ini bukan karena saya yang salah penanganan atau apa, ya. Tapi memang saya kebagian pasien yang gawat-gawat dengan penyakit terminal. Dan kebetulan malaikat maut menjemput pas saya lagi ada di sana. Oh well, jangan-jangan saya ini juga pemanggil malaikat maut. Ih, nggak deh amit-amit.
Saya juga pernah jaga bangsal terheboh di RSUD Tangerang. Ih, pasien yang masuk ke bangsal nggak habis-habis. Saya dan rekan jaga tiga bangsal sekaligus, yang tiap bangsalnya ada sekitar 20 pasien. Dan residen jaga hanya bisa on call saja. Aaak, kaki rasanya mau patah bolak balik sana sini. Dan nggak tidur lagi. Well, wesbiyasak.
Di stase IPD, kami harus follow up pasien jam 5 pagi. Status pasien yang harus diselesaikan banyak banget. Kami tidur tengah malam dan bangun pagi-pagi buta. Akhirnya, saya dan teman-teman tidak pernah mandi pagi sebelum follow up pagi. Hanya sempat sholat subuh dan ganti baju. Sarapan pun nggak sempat, kami sudah harus ngacir sebelum residen datang.
Yah, saya tidak pernah menyesali kemampuan aneh bin ajaib saya ini. Karena ternyata tidak saya seorang. Tapi jumlah koas bau ini ya nggak banyak. Kami jadi fenomenal. Salah seorang teman bahkan terang-terangan bilang nggak mau jaga bareng saya, bisa-bisa dia mati muda. Iihh, jahat banget.
Saya juga kerap kali disalahkan oleh residen saat jaga malam.
“Dek, kamu sih pemanggil. Saya biasanya jaga sepi. Gara-gara ada kamu IGD rame banget, nih. Kamu pulang aja sana, deh.”
Hahaha. Kalau bisa sih saya mau pulang, Dok.
Setidaknya saya dapat banyak pengalaman dan pelajaran yang lebih, serta pengalaman unik yang bisa saya ceritakan ke anak cucu. Cerita masa koas ini memang tidak ada habisnya.
Semoga saat residen nanti, kemampuan saya memanggil pasien ini sudah luntur. Pasien plis datang dalam jumlah normal aja, deh. Ramenya ntar aja pas saya sudah praktik sendiri. Nah, kan lumayan tuh nambah income. Hehehe.
Ah, kangen sekali masa-masa koas di tengah masa pengangguran saat ini. 😀